Menu

Mode Gelap
Akhirnya, Bupati Sangihe Lakukan Ground Breaking Jalan Lenganeng–Bawongkulu Dihadiri 500 Lebih Ekonom, Pleno ISEI Ke-XXIV Serukan Penguatan Peran Negara Hadapi Tantangan Ekonomi Global Breaking : Guru SMP di Rote Ndao Diduga Lakukan Pelecehan Seksual di Depan Siswa Lain, Rok Korban Sampai Robek! Merah Putih Shooting Competition Digelar, Gubernur Optimistis Perbakin Bengkulu Raih Emas PON STOP PRESS Wartawan Sulutnews.com “ILPI TARMAWAN”

Sangihe · 10 Okt 2025 14:11 WIB ·

Sangihe Pulau Kecil yang Tidak Bisa Ditambang: Kajian Hukum, Geologi, dan Dampak Lingkungan


Sangihe Pulau Kecil yang Tidak Bisa Ditambang: Kajian Hukum, Geologi, dan Dampak Lingkungan Perbesar

Tahuna, Sulutnews.com – Kabupaten Kepulauan Sangihe, gugusan pulau kecil vulkanik di utara Sulawesi, tengah menghadapi sorotan serius terkait wacana penambangan mineral. Namun, berdasarkan tinjauan hukum, kondisi geologi, hingga riwayat bencana alam, wilayah ini tidak layak dan tidak boleh ditambang. Para ahli menegaskan, eksploitasi tambang di pulau kecil seperti Sangihe hanya akan mempercepat kerusakan lingkungan dan mengancam masa depan masyarakat lokal.

Dilarang oleh Undang-Undang

Dasar hukum pengelolaan pulau kecil di Indonesia sangat jelas. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2014, menyebutkan bahwa pulau kecil dan perairan di sekitarnya harus dikelola berdasarkan asas keberlanjutan, keadilan, dan kearifan lokal.

Pasal 23 UU tersebut menegaskan bahwa pemanfaatan pulau kecil wajib memperhatikan daya dukung dan kelestarian lingkungan. Sementara Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10 Tahun 2024 mempertegas bahwa setiap kegiatan pemanfaatan di pulau kecil harus melalui kajian lingkungan strategis dan analisis risiko bencana.

“Pulau kecil seperti Sangihe tidak bisa diperlakukan sama dengan daratan besar. Keterbatasan daya dukung ekologis membuat aktivitas tambang berpotensi merusak keseimbangan sistem alam,” ujar Prof. Frans G. Ijong, akademisi dari Politeknik Negeri Nusa Utara (Polnustar)

Struktur Geologi Rawan Longsor

Secara ilmiah, kondisi geologi Kepulauan Sangihe memperkuat alasan pelarangan tambang. Wilayah ini termasuk dalam Busur Vulkanik Sangihe (Sangihe Arc) yang aktif secara tektonik dan vulkanik. Struktur tanahnya tersusun oleh batuan vulkanik muda, seperti tufa, breksi, dan lava, yang bersifat rapuh dan mudah lapuk.

Data dari kajian morfostruktur dan geotektonik IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia) menunjukkan bahwa lapisan piroklastik yang menyelimuti sebagian besar daratan Sangihe memiliki kemiringan lereng di atas 30 derajat, menjadikannya rentan terhadap longsor, erosi, dan pergeseran tanah bila terjadi gangguan fisik akibat aktivitas tambang.

“Lapisan vulkanik muda yang tidak stabil akan cepat kehilangan daya ikat ketika vegetasi dibuka. Penggalian dan pembuangan material tambang bisa memicu longsor skala besar,” jelas Prof. Ijong. Ia menambahkan, karakter tanah Sangihe yang porous juga menyebabkan limpasan air hujan meningkat sehingga memperburuk potensi banjir bandang di kawasan hilir.

Data Bencana: Bukti Konkret Kerentanan Sangihe

Fakta lapangan membuktikan bahwa Sangihe telah berkali-kali mengalami bencana longsor dan banjir, bahkan tanpa adanya aktivitas tambang besar.

1. Bencana banjir dan longsor pada Januari 2007, yang mengakibatkan 24 korban meninggal dan 10 orang hilang,

2. 16 Juni 2016 banjir bandang menerjang wilayah kelurahan Kolongan Akembawi, Kolongan Mitu kecamatan Tahuna Barat

3. Januari 2020, banjir bandang dan longsor menerjang Kecamatan Manganitu desa Lebo, mengakibatkan 2 orang meninggal dunia serta puluhan rumah rusak dan sejumlah kecamatan lainnya menanggung kejadian longsor jalan tertimbun longsor.

4. Januari 2024, peristiwa serupa terulang di enam kecamatan berbeda, menimbulkan kerugian ekonomi dan memaksa ratusan keluarga mengungsi.
(BNPB dan Pusat Krisis Kemenkes RI, 2024)

 

Foto : Prof. Frans G. Ijong

Dari catatan tersebut, Sangihe termasuk daerah kategori risiko tinggi bencana geologi. Dengan kondisi seperti ini, aktivitas tambang justru akan mempercepat ketidakstabilan lereng dan memperluas area rawan bencana.

“Penambangan di pulau kecil vulkanik seperti Sangihe sama saja dengan mempercepat siklus bencana. Dampaknya bukan hanya kerusakan lingkungan, tapi juga hilangnya ruang hidup masyarakat,” tegas Prof. Ijong.

Dampak Lingkungan dan Sosial Ekonomi

Penambangan di Sangihe diprediksi membawa serangkaian dampak negatif yang luas:

  1. Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) – Penebangan vegetasi dan penggalian lereng mempercepat sedimentasi dan menurunkan kualitas air.
  2. Pencemaran Pesisir – Limbah tambang berpotensi mencemari terumbu karang dan padang lamun, sumber pangan utama masyarakat pesisir.
  3. Hilangnya Mata Pencaharian – Nelayan dan petani akan kehilangan produktivitas akibat kerusakan lahan dan laut.
  4. Konflik Sosial – Alih fungsi lahan tanpa konsultasi publik dapat memicu ketegangan antar warga.
  5. Penurunan Ketahanan Pangan – Hilangnya lahan subur menekan pasokan pangan lokal.

“Jika rusak, butuh waktu ratusan tahun untuk memulihkan fungsi ekologis pulau kecil. Sementara keuntungan tambang hanya jangka pendek dan dinikmati segelintir pihak,” ungkap Prof. Ijong.

Alternatif Pembangunan Berkelanjutan

Sebagai gantinya, akademisi mendorong pemerintah daerah mengembangkan ekonomi hijau berbasis sumber daya terbarukan. Potensi perikanan berkelanjutan, pariwisata bahari, serta konservasi ekosistem laut dinilai lebih sesuai dengan karakter pulau kecil. SDA tersebut dapat merupakan unggulan yang jika dikelola dengan serius dan profesional akan mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan khalayak sebagaimana hal tersebut selalu disampaikan pada setiap perhelatan pemilukada dari periode ke periode.

Polnustar sendiri telah memetakan sejumlah program unggulan berbasis masyarakat, seperti konservasi terumbu karang dan penguatan desa tangguh bencana di wilayah pesisir. Menurut Prof. Ijong, model pembangunan seperti ini lebih tahan lama dan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.

“Kita perlu berpindah paradigma, dari eksploitasi menjadi konservasi. Pulau kecil bukan untuk ditambang, tapi untuk dijaga dan diwariskan,” tutupnya.

Kesimpulan

Dari sisi hukum, geologi, dan ekologi, Sangihe merupakan zona lindung alami yang tidak layak dijadikan lokasi tambang. Pemerintah pusat dan daerah didorong untuk menegakkan amanat UU No. 27/2007 yang disempurnakan menjadi UU NO.1 2014 dan Permen KP No. 10/2024, serta menetapkan moratorium izin tambang di wilayah pulau kecil.

Dengan pendekatan berbasis ilmu pengetahuan dan kearifan lokal, masa depan Sangihe dapat diarahkan pada pembangunan berkelanjutan yang menjaga harmoni antara manusia dan alam. (Andy Gansalangi)

Artikel ini telah dibaca 1,380 kali

Baca Lainnya

Sangihe Kebagian Ambulance Laut Dari BAZNAS

23 Oktober 2025 - 21:25 WIB

Semangat Gotong Royong, Warga Towoe Perbaiki Jalan dan Talud

22 Oktober 2025 - 17:41 WIB

Transformasi dari Balik Jeruji: KaDji Shop dan Citra Baru Pemasyarakatan di Tahuna

22 Oktober 2025 - 11:25 WIB

Polnustar dan BPPP Tegal Tandatangani PKS Bidang Kelautan dan Perikanan

21 Oktober 2025 - 21:59 WIB

Survival Anggaran 2026: Saatnya Sangihe Bangkit Lewat Lautnya

17 Oktober 2025 - 20:29 WIB

Polres Kepulauan Sangihe Gelar Jumat Keliling dan Jumat Curhat di Masjid Al-Ikhlas Beramal

17 Oktober 2025 - 17:44 WIB

Trending di Kepolisian