Sitaro.sulutnews.com | Gugatan hukum yang diajukan Joutje Luntungan terhadap Ketua Partai Golkar DPD II Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro), Alfrets Ronald Takarendehang (ART), dinilai sebagai bentuk pembungkaman kebebasan berpendapat. Hal ini disampaikan oleh kuasa hukum ART, Frank Tyson Kahiking, SH., MH.
ART, yang juga merupakan Ketua Tim Pemenangan pasangan Bupati dan Wakil Bupati terpilih serta Koordinator Pemenangan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Yulius Selvanus Komaling (YSK) – Victor Mailangkay (Victory) di Sitaro, digugat setelah mengunggah narasi di grup Facebook “Suara Masyarakat Sitaro” di masa kampanye Pilkada serentak 2024.
Unggahan tersebut berisi pernyataan: “Politisi saja ditipu apalagi rakyat kecil.” Dalam keterangannya, ART menjelaskan bahwa pernyataan itu adalah pengalaman pribadinya saat menjadi kandidat Bupati pada Pilkada 2018. Ia menceritakan bagaimana dirinya mencari dukungan dari berbagai pihak, termasuk saran untuk bertemu dengan sosok yang ia sebut sebagai “Dji Sam Soe,” yang digambarkan sebagai pasangan suami istri sekaligus pengusaha dan Ketua Partai Biru Langit saat itu.
Namun, pernyataan tersebut ditafsirkan oleh Joutje Luntungan sebagai serangan terhadap dirinya dan istrinya, Liem Hong Eng alias Ci Uto. Luntungan, yang saat ini menjabat sebagai Anggota DPRD Sitaro, merasa bahwa unggahan itu mencemarkan nama baiknya dan merugikan dirinya serta istrinya secara materiil maupun immateriil.
Gugatan di Pengadilan dan Tuntutan Ganti Rugi Rp 10 Miliar
Gugatan Joutje Luntungan telah didaftarkan di Pengadilan Negeri Tahuna dengan nomor perkara 06/Pdt.G/2025/PN.Thn. Dalam gugatan tersebut, ia menuduh ART melakukan perbuatan melawan hukum yang sangat merugikan dirinya dan istrinya, terutama karena istrinya tidak terpilih dalam Pilkada. Ia juga menuntut ganti rugi sebesar Rp10 miliar atas dugaan pencemaran nama baik tersebut.
Namun, kuasa hukum ART, Frank Kahiking, menegaskan bahwa gugatan tersebut tidak berdasar dan tidak memiliki landasan hukum yang kuat. Menurutnya, nama “Dji Sam Soe” yang disebut dalam unggahan ART adalah merek rokok yang umum di pasaran, bukan nama pribadi atau subjek hukum. Sementara itu, “Partai Biru Langit” yang disebut dalam unggahan tersebut tidak ada dalam daftar partai politik yang terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham)
Pembungkaman Kebebasan Berpendapat dan Demokrasi yang Terancam
Lebih lanjut, Kahiking mengatakan, gugatan Joutje Luntungan mencerminkan sikap pejabat publik yang anti-kritik. dalam negara demokrasi, kritik terhadap profesi atau jabatan publik tidak bisa dikategorikan sebagai fitnah atau pencemaran nama baik.
“Menyerang profesi atau jabatan sebagai pejabat publik adalah bentuk kritik, bukan fitnah. Yang dikritik bukan orangnya, melainkan jabatan atau peran yang dipegang dalam pemerintahan,” tegas Kahiking.
Kahiking juga menekankan, pejabat publik harus siap menerima kritik, bahkan yang paling tajam sekalipun, alih-alih meresponsnya dengan kriminalisasi. Gugatan yang diajukan Joutje Luntungan dinilai sebagai bentuk penyempitan ruang demokrasi dan bertentangan dengan prinsip konstitusi.
“Undang-Undang menjamin kebebasan berpendapat, termasuk Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat,” tambahnya.
Selain itu, Kahiking juga merujuk pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak untuk mengekspresikan pendapatnya melalui media cetak maupun elektronik.
Sementara itu, ART dan tim hukumnya bertekad untuk gugatan ini sebagai bentuk perjuangan mempertahankan kebebasan berpendapat.
“Demokrasi akan mati jika kritik dibungkam dengan cara seperti ini,” pungkas Kahiking.









