Bolmut, Sulutnews.com – Kekerasan terhadap perempuan dan anak (KTPA) adalah tindakan yang menyebabkan penderitaan atau kesengsaraan pada seseorang, terutama perempuan, secara fisik, seksual, psikologis, atau penelantaran rumah tangga.
Pernikahan dini merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang dapat menyebabkan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Dua permasalahan ini menjadi pokok dialog pada kegiatan sosialisasi yang bertema; “Bersama Fatayat NU: Stop Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, serta Pencegahan Pernikahan Dini “
Acara ini dilaksanakan di Obyek Wisata Pantai Batu Pinagut, Coconut Beach, Boroko Timur. Sabtu (28/09/2024).
Gelar acara oleh Fatayat NU Bolmong Utara dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat, termasuk Karang Taruna Desa se-Kecamatan Kaidipang, utusan dari PAC Fatayat NU se-Bolmut, serta siswa-siswi dari SMA/SMK/MA di wilayah tersebut.
Narasumber Yulianti Musa, S.H, Managing Partner di Y&M Partners Firma Hukum, yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Litigasi di LBH Ansor Kotamobagu Cabang Bolmong Utara, memulai presentasinya dengan pertanyaan.
Apa yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan dan anak ?
“Adalah setiap perbuatan terhadapseseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikiologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”
Menurut Ahli Kriminologi Kekerasan yang mengakibatkan terjadinya kerusakan adalah Kekerasan yang bertentangan dengan Hukum. Oleh karena itu kekerasan merupakan kejahatan.
“Sanford Kadish dalam Encyclopedia Criminal Justice kekerasan adalah semua jenis perilaku yang tidak sah. Terkadang berupa sebuah tindakan nyata maupun berupa ancaman yang mengakibatkan pembinasaan atau kerusakan hak milik.” Ujar Yulianti Musa.
Bentuk kekerasan yang paling mudah dikenali kategorinya : Melempar, menendang, memukul/menampar, mencekik, mendorong, menggigit, atau dengan benda tajam dsb.
Korban Kekerasan ini paling mudah diketahui pada fisik seperti memar, berdarah, patah tulang, pingsan dan bentuk lain yang kondisinya lebih berat. Pengaruhnya hilang kesehatan, atau kemampuan normal tubuh atau hilang nyawa.
Kekerasan psikis tidak mudah dikenali sebab akibat yang ditumbulkan bagi korban tidak nampak
Kekerasan Budaya, ketika seseorang merasa tersakiti karena hal-hal yang berkaitan dengan budaya, agama, atau tradisi. Kekerasan Seksual, memaksa seseorang untuk melakukan perilaku seksual.
Pengabaian, ketika seseorang tidak melindungi orang lain yang merupakan tanggung jawabnya. Kekerasan Seksual memaksa seseorang untuk melakukan perilaku seksual, Kekerasan Finansial, mengontrol sumber keuangan seseorang tanpa ada izin.
Kekerasan Psikologis menggunakan ancaman dan menimbulkan rasa takut.
Jika kita kaji kembali Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Terdapat beberapa pasal yang melihat faktor kerentanan penyandang disabilitas, misalnya Pasal 6 Huruf A mengecualikan ketentuan delik aduan dalam pelecehan seksual non fisik dan fisik jika korbannya adalah penyandang disabilitas.
Kemudian Pasal 14 menyebutkan bahwa kekerasan seksual berbasis elektronik merupakan delik aduan, kecuali korban adalah anak atau penyandang disabilitas.
Pada ayat (5) disebutkan, ketika korban merupakan anak atau penyandang disabilitas, adanya kehendak atau persetujuan korban tidak akan menghapuskan tuntutan pidana.
“Penambahan hukuman pidana sebanyak 1/3 dari masa hukuman untuk kekerasan seksual dengan korban dan anak disabilitas juga menjadi poin penting yang diatur di dalam UU TPKS (Pasal 15 Ayat (1) Huruf h).”
Yulianti Musa yang juga dikenal sebagai Pengacara Perempuan dan Anak (PPA) menyampaikan pentingnya pendampingan hukum bagi perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan.
Paling fatal adalah Kekerasan Ekonomi & Penelantaran.
1. Kekerasan Ekonomi. Kekerasan ekonomi atau financial abuse adalah kondisi di mana seseorang dibatasi kebebasannya, diintimidasi, dan dikendalikan lewat hal-hal yang berhubungan dengan finansial. Misalnya istri yang tidak dinafkahi sebagai bentuk hukuman, tidak diberi akses terhadap rekening pribadinya dengan menahan kartu ATM atau menyita kartu kredit, atau dilarang untuk mencari nafkah untuk membatasi ruang gerak
2. Penelantaran.
Penelantaran dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) menyatakan bahwa penelantaran rumah tangga merupakan salah satu bentuk KDRT. Penelantaran rumah tangga yang diatur dalam pasal ini meliputi:
– Menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga, padahal menurut hukum yang berlaku, wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut
– Menimbulkan ketergantungan ekonomi korban dengan cara membatasi atau melarang korban untuk bekerja yang layak.
Dengan demikian, UU PKDRT bertujuan untuk:
– Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
– Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
– Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga.
– Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Tanggapan Panitera Pengadilan Agama Boroko Hi. Jusuf Dany Pontoh, S.Ag, MH, dalam tajuk berita; Bersama Fatayat NU Bolmong Utara Mencegah Kekerasan Terhadap Perempuan & Pernikahan Usia Dini – Sulutnews.com
“Nikah usia dini, potensi cerainya lebih tinggi, alasan cerainya variatif, ada pasangan yang nikah dini dapat dispensasi, dua tahun kemudian cerai. Saling mencintai tapi intervensi pihak ketiga (keluarga dekat) karena pemahaman keagamaannya kurang baik dan soal nafkah paling utama. Semoga upaya Fatayat NU Bolmong Utara didukung data, ada di PA Boroko, agar out put upaya pencegahan bisa maksimal.” ujarnya. ***