
Alur Pikir
Pendahuluan
Dalam GBHN disebutkan bahwa hakikat Wawasan Nusantara diwujudkan dengan menyatakan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, social budaya, dan pertahanan keamanan.[1]
Cara pandang bangsa tentang dirinya sendiri masih kurang mendalam karena terlalu lama dijajah Belanda, dimana Belanda sengaja menghambat akses masyarakat pada budaya alamiahnya yaitu budaya maritim. Pemerintah Hindia Belanda sampai mengatur batas maksimum ukuran perahu yang bisa dibuat nelayan agar kemampuan masyarakat untuk melaut terbatas, sehingga menghambat mobilitas penduduk dari pulau ke pulau.
Terbatasnya mobilitas penduduk akan semakin meningkatkan sentimen kesukuan sehingga memudahkan pemerintah Hindia Belanda melaksanakan politik devide et inpera selama berabat-abad di kepulauan Nusantara. Wawasan Nusantara baru mulai disosialisasikan disaat pemerintahan Orde Baru dengan metode indoktrinasi namun kurang ditunjang dengan contoh dan teladan, bimbingan dan arahan sehingga kurang teraplikasikan dalam kehidupan sehari-hari secara Nasional. Ketika ada peluang pembangunan Nasional selama Orde Baru pembangunan lebih dipusatkan di Pulau Jawa dan pembangunan infrastrutur ekonomi khususnya transportasi relatif kurang diluar pulau Jawa sehingga mobilitas penduduk untuk keluar pulau Jawa kurang berkembang dan baru di era Presiden Jokowi ada wacana dan sedang dikerjakan antara lain jalan tol Trans Sumatra, Jawa, Tol Laut, Jalan tembus hutan rimba di Papua dan jalan sepanjang perbatasan Kalimantan. Selama seosialisasi lewat penataran P4 Wawasan Nusantara kenyataannya kurang tersosialisasi sehingga kurang teraplikasi apalagi mengaktualkannya.
Saat ini masih sulit mengaplikasi wacana-wacana dalam Wawasan Nusantara berupa kesatuan politik, kesatuan ekonomi, kesatuan sosial budaya dan kesatuan Hankam, termasuk kesatuan cara pandang tentang media massa menyangkut masalah Pers. Peran pers sebagai sarana komunikasi dan informasi dalam proses komunikasi politik amat besar sebagai penghubung antara sub struktur masyarakat dalam menyampaikan aspirasi masyarakat pada pemerintah (Suprastruktur) baik secara langsung maupun melalui infratruktur dan dari infrastruktur ke suprastruktur. Demikian pula kebijakan suprastruktur atas aspirasi tersebut diatas disampaikan pada masyarakat melalui media pers. Media pers dalam hal ini, berperan besar sebagai pemersatu bangsa sesuai Wawasan Nusantara, disamping itu media massa bisa sebagai pedang bermata dua, karena bisa menjadi unsur pemecah bangsa ketika media massa lebih berperan memunculkan berita-berita negatif yang berpotensi memunculkan konflik.
Di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik, tapi disisi lain, media massa bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan (ideological state apparatus). Media massa bukan sesuatu yang bebas, independen, namun memiliki keterkaitan dengan realitas sosial karena berbagai kepentingan yang bermain dalam media massa. Dalam media massa juga terselubung kepentingan yang lain, misalnya kepentingan kapitalisme pemilik modal, sustainabilitas lapangan kerja bagi para karyawan dan sebagainya. Dalam kondisi dan posisi seperti ini, media massa tidak mungkin berdiri statis di tengah-tengah, dia akan bergerak dinamis di antara berbagai kepentingan.
Aktualisasi Wawasan Nusantara melalui media massa sangat penting agar insan pers dapat melakukan kegiatan jurnalistik lebih professional. Sifat lebih mementingkan kepentingan Negara dibanding kepentingan pribadi atau kepentingan perusahaan media sebagai wujud rasa Nasionalisme. Selain itu Dewan Pers dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai konstituen hendaknya mampu memiliki pemikiran dan mendefinisikan secara tepat dalam merumuskan kepentingan Negara.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka pokok permasalahan yang akan diajukan adalah bagaimana peran pers dan aktualisasi konsep Wawasan Nusantara.
Pembahasan
1.Peranan Pers
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Dalam Bab II UU Nomor 40 Tahun 1999 terdapat asas, fungsi, hak, kewajiban dan peranan pers dalam Pasal 2 Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsipprinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Pasal 3 ayat 1. Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol social, pada Pasal 5 ayat 1. Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. 2. Pers wajib melayani Hak Jawab. 3. Pers wajib melayani Hak Tolak. Pada Pasal 6 Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut : a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan; c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran;[2]
Pers juga mempunyai fungsi penerangan, yang dalam arti luas memberi informasi. Dalam fungsi penerangan, pers dibagi menjadi empat macam pekerjaan, yaitu pers sebagai karya pemilik, pers sebagai karya penghubung, pers sebagai alat membantu membentuk pendapat umum, sebagai alat kontrol dan memberi komentar atau tanggapan terhadap suatu peristiwa. Peran Pers secara operasional berfungsi memperkuat nasionalisme dalam bingkai keberagaman yang berorientasi membuka wawasan melalui filter informasi. Dalam fungsi ini Pers harus berfungsi secara bebas total, independen dan mandiri namun berwawasan kebangsaan.
2.Politik Dan Media Pers
Politik dan media pers memang ibarat dua sisi mata uang, media memerlukan politik sebagai bahan yang perlu diberitakan dan politik juga memerlukan media pers sebagai wadah dalam mengelola pesan yang hendak diciptakan. Tidak ada gerakan sosial yang tidak memiliki divisi media. Apapun bidang yang digeluti oleh sebuah gerakan, semuanya memiliki perangkat yang bertugas untuk menciptakan atau berhubungan dengan media. Seogianya media dan politik bisa berjalan dengan harmoni. Media pers bisa memediasi kegiatan politik dari para politisi kepada masyarakat. Dan sebaliknya, media juga bisa memediasi opini, tuntutan, atau reaksi masyarakat kepada para politisi. Media pers adalah jembatan mediasi bagi segala macam ide dan gagasan yang menyangkut kepentingan orang banyak. Seperti dalam UU No.14 Tahun 2008 pada pasal Pasal 15 partai politik wajib menyediakan informasi publik.[3]
Media pers yang berpolitik akan menyesatkan para pembaca, pendengar, atau pemirsa. Sebab, pemilihan narasumber, pemilihan waktu atau ruang bagi suatu sosok atau peristiwa, serta keseimbangan pelaporan atas suatu fakta akan menjadi bias dengan sengaja. Yang menjadi lawan politik dari pemilik media dengan sendirinya akan tereliminir. Cara pandang politisi dan wartawan terhadap informasi berbeda. Namun demikian, bila kita mengkaji secara mendalam, media sebenarnya memang takkan pernah bisa netral, baik secara teoritis maupun praktis. Dalam Analisis Wacana, pemilihan atas peristiwa apa yang menjadi headline, siapa yang menjadi narasumber, bahasa apa yang digunakan, atau sudut pandang apa yang dipakai dalam membaca fakta, semuanya adalah pilihan-pilihan yang tak terhindarkan oleh media yang bersangkutan. Informasi yang disebarkan oleh media bukanlah informasi yang bebas. Setiap manusia termasuk wartawan dari tingkat reporter, redaktur, pemimpin redaktur, pemimpin perusahaan dan bahkan pemillik cenderung memihak kepada sesuatu dengan latar belakang tertentu, wartawan dapat memilih angle tertentu dimana bisa membesarkan atau mengecilkan sesuatau peristiwa tertentu.
Prinsip netralitas media pun tidak sesuai dengan teori-teori komunikasi massa yang dirumuskan para pakar komunikasi dari Barat. Seperti Denis McQuail[4], yang menyatakan bahwa media massa sulit tidak memihak karena berada di antara 7 kelompok yang mengelilinginya, seperti: pemilik media (owner), pemegang saham (investor), konsumen berita (reader/listener/watcher), pemasang iklan (advertizer), kelompok sosial-politik (social political group), kelompok kepentingan (pressure group), dan peraturan perundang-undangan/rezim yang ada di sebuah negara (regulation).
Namun demikian, permasalahannya adalah, sejauh mana media pers bisa bertindak adil atas berbagai kepentingan yang dimediasinya? Ada begitu banyak kepentingan yang terjadi, dan bagaimana media pers menempatkannya secara proporsional? Apa yang menyebabkan sebuah kegiatan politik dari golongan tertentu lebih dikedepankan ketimbang kepentingan politik lain dari golongan yang lain juga? Dan lebih dari pada itu bagaimana media pers dapat mengedepankan geopolitik nasional yaitu wawasan nusantara, mewujudkan nasionalisme yang tinggi dari segala aspek kehidupan rakyat indonesia yang mengutamakan kepentingan nasional dari pada kepentingan perorangan, kelompok, golongan, suku bangsa atau daerah, walaupun kepentingan tersebut tetap dihargai agar tidak bertentangan dari kepentingan nasional.
Pada saat ini ada diskursus yang berkelanjutan mengenai substansi “kebebasan pers” dan “independensi pers”. Di masa lalu, dua persoalan tersebut semata-mata dalam konteks politik (pers dikuasai penguasa politik, pers di bawah tekanan penguasa politik, pers dikenai berbagai pembatasan yang bersifat preventif dan represif).[5]
Banyak tokoh nasional maupun local menggunakan media massa menjadi ajang propaganda diri maupun ideologi, melakukan pencitraan diri, menyebarkan pemikiran baik secara terbuka maupun secara terselubung.
3. Geopolitik Dan Wawasan Nusantara
Geopolitik adalah sebuah instrumen keruangan yang dapat digunakan untuk mencapai berbagai kepen tingannya negara. Dinamika dan perkembangan geopolitik dan geo strategi sendiri tak dapat dilepaskan dari berbagai fase dan tahapan sejarah umat manusia dimana tiap-tiap fase kemudian memiliki problematikanya tersendiri yang kemudian berusaha dijawab oleh negara melalui berbagai kebijakan dimana salah satu dasar pembuatan kebijakan tersebut adalah aspek geopolitik dan geostrategi. Pada akhirnya, geopolitik dan geostrategi akan terus menjadi salah satu instrumen penting bagi proses pengambilan keputusan dan optimalisasi kapabilitas sebuah negara di tengah perkembangan zaman dan semakin kompleksnya sistem internasional di era kontemporer. Geopolitik terus digunakan oleh berbagai negara untuk mencapai tujuan survival di dalam sistem internasional yang semakin kompleks dan penuh tantangan.
Konsep Geopolitik Indonesia adalah Wawasan Nusantara. Berbeda dengan pemahaman geopolitik negara lain yang cenderung mengarah kepada tujuan ekspansi wilayah, konsep Geopolitik Indonesia, atau Wawasan Nusantara justru bertujuan untuk mempertahankan wilayah. Sebagai negara kepulauan yang luas, Bangsa Indonesia beranggapan bahwa laut yang dimilikinya merupakan sarana “penghubung” pulau, bukan “pemisah.” Sehingga, walaupun terpisah-pisah, bangsa Indonesia tetap menganggap negaranya sebagai satu kesatuan utuh. Kesatuan Politik, Kesatuan Ekonomi, Kesatuan Sosial Budaya dan Kesatuan Pertahanan dan Keamanan.[6]
Untuk menjamin perwujudan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah nasional dalam kehidupan nasional serta menjamin kepentingan nasional dalam kehidupan antarbangsa, perlu dikembangkan cara berpikir dan bersikap positif terhadap misi tersebut kepada bangsa Indonesia. Dengan cakupan yang demikian luas, pemasyarakatan atau sosialisasi pada masyarakat luas sangat bergantung pada berbagai pihak. Pihak-pihak yang terkait dalam sosialisasi, antara lain pendidik, penerbit dan pengarang buku, media massa, tokoh masyarakat, sejarahwan, praktisi, ilmuwan, dan banyak lagi. Mereka, baik secara perorangan maupun institusi, diharapkan berperan aktif dalam memasyarakatkan dan menerapkan ajaran Wawasan Nusantara menurut bidangnya masing-masing.[7]
Dalam UU No.24 Tahun 1991 tentang penataan ruang pada pasal 25 penyebaran informasi tentang penataan ruang kepada masyarakat dapat dilakukan melalui media elektronik, media cetak serta media komunikasi lainnya.[8]
Kesimpulan
Media Pers salah satu pilar demokrasi mempunyai peran penting untuk mensosialisasikan dan menginplementasikan wawasan nusantara sehingga dapat teraktualisasi di dalam kehidupan masyarakat dengan menjaga netralitas politik. Insan pers baik reporter, redaktur, pemimpin redaktur, pemimpin perusahaan, pemilik baik secara perseorangan maupun perusahaan diharapkan berperan aktif dalam mengaktualisasikan Wawasan Nusantara, bertindak neteral dalam politik.
Apapun kepentingan semua insan tetap harus mengedepankan geopolitik nasional yaitu wawasan nusantara, mewujudkan nasionalisme yang tinggi dari segala aspek kehidupan rakyat Indonesia yang mengutamakan kepentingan nasional dari pada kepentingan perorangan, kelompok, golongan, suku bangsa atau daerah.
Daftar pustaka
Amirmachmud, H., NOMOR II/MPR/1983 TAHUN 1983 (Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 1983)
Mattalatta, Andi, ‘Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008’, 2008, 1–28
Mcquail, Denis, Communication Models for the Study of Mass Communications, Communication Models for the Study of Mass Communications, 2015 <https://doi.org/10.4324/9781315846378>
Moerdiono, ‘Undang-Undang Republik Indonesia No.24 Tahun 1992’, September, 1992, 1–2
Muladi, ‘Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers’, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3887, 1999
Prof. Dr. Bagir Manan, SH., MCL, Pers Hukum Dan Hak Asasi Manusia, ed. by Samsuri; Herutjahjo, Cetakan Pe (Jakarta: DEWAN PERS, 2016)
Yunianto, Dicky, Bambang Nariyono, Bambang Daryanto, Eddy Oetomo, E. Imam Maksudi, and Endang Hairudin, Bidang Studi Geopolitik Dan Wawasan Nusantara, ed. by Direktorat Materi dan Penilaian Peserta Pendidikan Deputi Bidang Pendidikan Pimpinan Tingkat Nasional, Tahun 2020 (Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia JI. Medan Merdeka Selatan 10, Jakarta Pusat, 2017)
[1] H. Amirmachmud, NOMOR II/MPR/1983 TAHUN 1983 (Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 1983).
[2] Muladi, ‘Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers’, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3887, 1999.
[3] Andi Mattalatta, ‘Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008’, 2008, 1–28.
[4] Denis Mcquail, Communication Models for the Study of Mass Communications, Communication Models for the Study of Mass Communications, 2015 <https://doi.org/10.4324/9781315846378>.
[5] MCL Prof. Dr. Bagir Manan, SH., Pers Hukum Dan Hak Asasi Manusia, ed. by Samsuri; Herutjahjo, Cetakan Pe (Jakarta: DEWAN PERS, 2016).
[6] Dicky Yunianto and others, Bidang Studi Geopolitik Dan Wawasan Nusantara, ed. by Direktorat Materi dan Penilaian Peserta Pendidikan Deputi Bidang Pendidikan Pimpinan Tingkat Nasional, Tahun 2020 (Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia JI. Medan Merdeka Selatan 10, Jakarta Pusat, 2017).
[7] Yunianto and others.
[8] Moerdiono, ‘Undang-Undang Republik Indonesia No.24 Tahun 1992’, September, 1992, 1–2.