SULUTNEWS.COM– Menurut Undang Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang.
Advokat memiliki prinsip kerja yang kemudian menjadi Kode Etik Profesi Advokat. Kode etik tersebut kemudian dijadikan dasar pijakan seorang advokat dalam menjalankan aktivitasnya sebagai penasihat hukum, kuasa hukum maupun penegak hukum.
Pasal 22 ayat 1 menyebutkan Advokat berkewajiban memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi klien yang tidak mampu. “Di samping itu Advokat dalam membela kliennya harus memegang teguh prinsip Equality before the Law yakni jaminan persamaan di hadapan hukum dan prinsip Presumption of innocence, Praduga tak bersalah yakni seseorang tidak boleh dianggap bersalah selama belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa dia bersalah.
Prinsip tersebut dilaksanakan agar di dalam seorang Advokat berani menjalankan profesi dan fungsinya dengan efektif terutama bagi masyarakat tidak mampu yang menghadapi perkara di pengadilan.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 D ayat (1) yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Hukum berfungsi mengatur segala hal agar dapat berjalan tertib dan sesuai dengan aturan.
Tugas seorang advokat sebagai pemberi bantuan hukum, bukan berarti seorang advokat harus membela kliennya jika memang terbukti bersalah.
“Akan tetapi, mereka menjamin dan mendampingi agar kliennya mendapat keadilan di dalam dan di luar persidangan. Hak untuk memperoleh jaminan di dalam hukum telah diatur di dalam banyak instrumen hukum.
Ditinjau dari perspektif HAM, bantuan hukum merupakan salah satu hak asasi yang wajib diterima dalam berhukum.
Piagam Hak Asasi Manusia, menyebutkan “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable).” Nonderogable, di sini merupakan hak yang dalam kondisi apapun tidak dapat dirampas secara paksa oleh orang lain.
“Dan bagi kelompok masyarakat yang rentan, seperti anak-anak dan fakir miskin, berhak mendapatkan perlindungan lebih terhadap hak asasinya. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.
Penegakan hukum pada prinsipnya harus memberikan manfaat atau berdaya guna bagi masyarakat di samping masyarakat mengharapkan adanya penegakan hukum dalam rangka mencapai suatu keadilan.
Semenjak Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 disahkan, pemberian bantuan hukum bukan lagi menjadi hal yang menyangkut etika ataupun kesukarelaan tiap advokat, namun merupakan sesuatu yang diwajibkan oleh undang-undang. Ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 dengan tegas menyatakan bahwa, “Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu”.
Agar bantuan hukum yang diberikan bermanfaat bagi seluruh masyarakat, maka dalam pelaksanaannya dilakukan secara merata dengan penyaluran melalui berbagai institusi penegakan hukum yang ada maupun organisasi-organisasi masyarakat yang bergerak dibidang bantuan hukum.
Pelaksanaan bantuan hukum kepada masyarakat tidak hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendampingan advokat dalam setiap proses hukum melainkan lebih dari hal tersebut yaitu adalah bagaimana menjadikan masyarakat untuk mengerti hukum dan mendapatkan jaminan dan keadilan di hadapan hukum. (**)
Penulis: Ursula Lisa Tumilantouw, SH