Bolmut, Sulutnews.com – Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) pada dasarnya merupakan suatu cerminan kedaulatan rakyat dari penerapan konsep demokrasi di Indonesia sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Kamis (20/06/2024).
Pemilu menjadi suatu wadah bagi setiap warga negara untuk menentukan pemimpin masa depan yang layak untuk menduduki posisi strategis, baik pada lembaga eksekutif maupun legislatif.
Terdapat beberapa instrumen hukum yang dapat mendukung integritas penyelenggaraan pemilu, salah satu diantaranya adalah hukum pidana pemilu.
Publik bertanya, mengapa setelah penetapan pleno perolehan suara para calon legislatif oleh lembaga penyelenggara KPU Bolmut, Bawaslu dan Gakkumdu masih menerima laporan pidana politik, seharusnya ditolak, karena tahapan verifikasi ijasah sudah dilewati.
Problematika mengenai penegakan hukum pidana pemilu di Indonesia dari tahun ke tahun selalu menjadi persoalan yang tidak pernah selesai. Misalnya saja, mengenai kurangnya efektivitas penanganan perkara pidana pemilu secara tuntas.
Berkaitan dengan persoalan penanganan perkara tindak pidana pemilu, salah satu yang menjadi catatan adalah pendeknya jangka waktu pelaporan pelanggaran tindak pidana pemilu.
Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 454 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), dimana batas waktu pelaporan adanya dugaan pelanggaran pemilu hanya sampai 7 hari.
Pendeknya batas waktu tersebut sangat berpotensi menyebabkan banyaknya pelanggaran tindak pidana pemilu yang tidak dapat terselesaikan dengan tuntas bahkan bisa terlewatkan begitu saja.
Suatu kasus atau perkara pidana politik dimungkinkan dihapus kewenangan menuntut dan menjalankan pidana apabila melewati masa kedaluwarsa.
Hal ini sebagaimana diatur dalam BAB VII Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Terkait dengan hal tersebut, sejumlah perkara pidana pernah terjadi di Indonesia, khususnya pidana politik legislatif 2024 Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut).
Kajian yuridis dapat kita lansir dari https://identik.news/perkara-dugaan-ijazah-palsu-di-bolmut-p19-sp3-menanti/
Pemberitaan tentang laporan pidana politik dugaan ijazah palsu paket C atas nama MP, anggota legislatif 2024-2029 yang bergulir di Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) di Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut) telah daluarsa.
Hal ini ditandai dengan dikembalikannya berkas perkara (P19) tersebut oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Bolmut kepada penyidik Polres Bolmut disertai catatan.
Seperti diketahui, sebelumnya perkara dugaan ijazah palsu tersebut telah berproses di Polres Bolmut dengan menetapkan dua orang tersangka, yakni mantan Kadis Pendidikan berinisial ET dan ZP.
Namun begitu, setelah dilakukan pelimpahan berkas ke Kejari Bolmut pada 10 Juni 2024 kemarin, berkas tersebut kemudian dikembalikan dengan status P19 oleh Kejari Bolmut.
Hal tersebut dibenarkan oleh Kepala Kejaksaan Bolmong Utara Oktafian Syah Effendi, S.H M.H, melalui Kasie Pidum Jeri Kurniawan, SH,mengatakan, setelah dilaksanakan pemeriksaan berkas perkara dugaan ijazah palsu, Kejaksaan kemudian memutuskan untuk mengembalikan berkas perkara tersebut (P19).
“Tentunya, hal ini telah kita periksa, kaji dengan sebaik-baiknya. Kemudian, setelah itu kami putuskan untuk mengembalikan berkas perkara tersebut pertanggal 12 Juni 2024,” kata Jery.
Sementara itu, dikonfirmasi hal ini ke Kasat Reskrim Polres Bolmut Iptu Doly Irawan, membenarkan hal tersebut. Doly mengungkap pihaknya telah berusaha melengkapi berkas perkara tersebut, namun telah dikembalikan (P19) Kejari Bolmut.
“Kami tentu telah berupaya semaksimal mungkin, namun berkas telah dikembalikan oleh Kejaksaan dengan status P19,” kata Doly.
Meski begitu, menurutnya dalam kajian Reskrim Polres Bolmut, berkas perkara tersebut telah memenuhi syarat formil dan materil.
“Namun karena kasus ini merupakan pidana Pemilu yang dibatasi oleh waktu, maka hanya ada satu kali pengembalian (P19). Kemudian perkara ini telah kadaluarsa,” ungkapnya.
Ditanya terkait proses selanjutnya setelah di kembalikannya berkas perkara tersebut, dirinya mengatakan perkara tersebut telah selesai.
“Sudah kadaluarsa. Kalau sudah kadaluarsa, mau diapain. Sudah selesai,” tutupnya.
Kuasa hukum dari tersangka ET, Krisdianto Pranoto, SH, mengatan belum mendapatkan kepastian mengenai proses dari perkara klien, maka dari itu besok kami penasihat hukum, akan berkoordinasi dengan pihak Polres Bolmut.
“Proses peristiwa pidana politik sudah daluwarsa dalam P19 dari penuntutan hukum pidana pemilu memberi kepastian hukum & keadilan. Guna memulihkan nama baik klein kita, kepada pihak Reskrim Polres untuk segera menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).” Kata Krisdianto Pranoto.
Ditambahkannya, jika mengacu pada KUHAP, penghentian penyidikan merupakan kewenangan dari penyidik yang diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP.
Pasal tersebut berbunyi, dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya, dan hal itu kita tunggu.
Di dalam ketentuan KUHP yang lama yang masih berlaku serta UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, yakni pada tahun 2026,daluwarsa merupakan salah satu alasan hapusnya kewenangan menuntut dan menjalankan hukuman.
KUHP maupun UU 1/2023 mengenal adanya 2 macam daluwarsa pidana adalah daluwarsa untuk menuntut dan daluwarsa untuk menjalankan hukuman pidana.
Penghentian penyidikan penuntutan karena alasan kebijakan, dimana jaksa diperbolehkan
mengesampingkan perkara sekalipun bukti-bukti cukup untuk dilimpahkan ke pengadilan demi kepentingan umum atau kepentingan individu dan didasarkan atas hukum tidak tertulis (asas opportunitas).
Dalam amar keputusan Mahkamah Konstitusi menegaskan, dalam perspektif implementasi perlindungan kepastian dan keadilan hukum, daluwarsa penuntutan pidana juga merupakan bagian esensial yang diperlukan dalam rangka mewujudkan kepastian dan keadilan hukum.
Oleh karenanya, guna menjamin integritas penyelenggaraan pemilu di Indonesia harus berlandaskan asas yang mengikatnya, yang dikenal dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil).
Untuk kedepan, menurut mantan Ketua Bawaslu Bolmut Irianto Pontoh, SPd, berkaitan dengan persoalan penanganan perkara tindak pidana pemilu, salah satu yang menjadi catatan adalah pendeknya jangka waktu pelaporan pelanggaran tindak pidana pemilu.
“Dibanding persoalan dalam lingkup rezim hukum lainnya, persoalan hukum pemilu dapat dikatakan lebih kompleks. Artinya, dibutuhkan suatu penanganan yang ekstra dalam penyelesaian perkara pidana pemilu.” ungkap Pontoh.
Singkatnya batas waktu pelaporan dugaan tindak pidana pemilu tentu berimplikasi pada minimnya alat bukti yang ditemukan, baik oleh Pelapor maupun temuan dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Sehingga, hal tersebut berdampak pada banyaknya kasus yang tidak terselesaikan dengan tuntas karena minim akan alat bukti untuk dilanjutkan ke tingkat penyidikan maupun ke persidangan.
Guna menjamin adanya keadilan dan kesamaan, daluwarsa pelaporan dugaan tindak pidana pemilu dapat ditambah menjadi 30 hari.
Dengan jangka waktu demikian dirasa menjadi wajar dan logis bagi pelapor untuk menemukan berbagai alat bukti demi menguatkan laporannya. Hal ini juga tentu tidak bertentangan dengan konsep yang melekat dalam proses penyelenggaraan pemilu.
Dengan demikian, persoalan mengenai kurang efektifnya penegakan hukum pidana pemilu diharapkan dapat sedikit teratasi dengan adanya penambahan daluwarsa waktu pelaporan dugaan tindak pidana pemilu.
Hal ini tentunya juga dapat berdampak baik terhadap iklim demokrasi Indonesia agar dapat menghasilkan calon pemimpin bangsa yang terpilih melalui cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum. ***