Sore itu kami janjian di warkop “Kisah Kopi Indonesia” yang berlokasi di Jalan Kendal, Nomor 1, Dukuh Atas, Menteng, Jakarta Pusat. Bang Faisal yang pilih lokasinya. “Agar mudah dijangkau,” katanya beralasan. Ia tahu persis bahwa kami ini “angker.” Anak kereta, begitu biasa kami berseloroh menundukkan kemacetan kota.
Singkatnya kami bertemu. Saya bersama 5 kawan yang ingin mendengar pikiran-pikirannya sekaligus ajak kerja bersama tur kampus mengulang kisah awal 98 saat meruntuhkan rezim Fir’aun Soeharto. Setahun sebelum pilpres 2024 memang kami sudah dalam kesamaan tesis: telah hadir Fir’aun baru di republik. Orang-orang menyebutnya raja selokan dari Solo.
Dan, pagi ini kubaca nama Faisal Basri bin Hasan Basri Batubara telah wafat. Pemberitahuannya begitu memedihkan jiwaku, “Telah berpulang ke rahmatullah hari ini, Kamis, 5 September 2024, pukul 03.50 WIB di RS Mayapada, Kuningan, Jakarta. Mohon dimaafkan segalanya.”
Awalnya, saya bertemu dan berguru saat beliau ketua Jurusan Ekonomi dan Studi Pembangunan FEB UI (1995-1998). Lalu sering guyon di Institute for Development of Economics & Finance (INDEF). Juga sering kongkow di kampusnya saat menjadi Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Perbanas Jakarta (1999-2003).
Selama hampir 30 tahun kita menulis, meriset, mengajar dan keliling kampus agar Indonesia mengatasi lima masalah besar: penurunan investasi riil, penyehatan neraca transaksi berjalan, penghancuran daya saing, KKN yang makin masif dan pertumbuhan ekonomi yang dimiliki oleh oligarki, ternyata belum ada hasilnya.
Alih-alih ada hasilnya, yang terjadi kemudian adalah deflasi yang menghancurkan kelas menengah. Hasil susenas BPS Maret 2024, jumlah kelas menengah turun dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada tahun ini. Ini semua karena arsitektur perekonomian kita masih kolonial.
Arsitektur yang tak berubah itu dikuatkan oleh para ekonom dan bangkir yang berlaku sebagai rentenir: jahat bin laknat. Mereka berbaris di istana, kemenkeu, BI dan Bappenas. Kerjanya cuma lima: menumpuk utang, mengimani obral SDA, memalaki rakyat, mengagamakan KKN dan menari bahagia di zaman krisis.
Kini, mengingat pikiran, karya dan semangatmu bagai mengingat “nisan kesetiaan.” Ya. Kesetiaan adalah tumpukan batu pondasi yang memeluk waktu menjelma dalam potret, foto, buku, jurnal dan tulisan. Ia mata ajar di kitab suci dan liturgi. Hulu ledaknya tertulis di ngarai langit semesta. Saat jatuh meluruh, setrilyun galon air mata tak cukup menghapusnya. Maka, pada hati dan jiwamu, wirid kecintaan ini tidak tak terhenti.
Mengingat kritikmu, kami lalu sadar bahwa kurikulum sekolah kita mencetak otak berpikir pinggir, ecek-ecek, melankolis, dramatik dan mengabsenkan hulu. Lahirlah lolosan para pekerja sekelas tukang: tukang kibul, tukang olah, tukang profesor, tukang pejabat, tukang politik, tukang rentenir, dan lain lain.
Akhirnya, republik ini cukup dipimpin tukang kayu. Semua diukur, dipotong dan diobral murah demi kelaminnya sendiri.
Mengingat perjalananmu, membuatku punya renungan soal pergerakan. Ya, pergerakan kita seperti harap revolusi yang berasal dari guyon, ngobrol, marah dan eksekusi. Jika hanya ada kemarahan tanpa eksekusi, maka tidak akan ada revolusi. Sungguh! Yang tak marah pada rezim rakus selokan adalah mereka yang hatinya tuli, bisu, buta dan mati.
Sambil menumpuk buku-buku karyamu, saya terus khusyuk berdoa. Di ujungnya, saat air mata tak kering, saya tulis ingatan buat anak-anak kelak, “krisis terdalam kita adalah krisis imaji besar yang meraksasa. Kini, untuk bermimpi besar saja, kita sudah takut dan putus asa. Itu terlihat dari pidato, tulisan, rangkuman program para elite yang rerata biasa saja di ruang publik. Tidak tampak “menginspirasi” rakyat. Maka, sambungannya lahir kurikulum yang sangat “harian” sehingga tidak berdentum ribuan tahun.
Di zaman kalasuba dan kalabendu ini: kita harus beyond dari krisis kegilaan ini. Yaitu merealisasikan negara pancasila. Seperti nujummu 20 tahun lalu.
Engkau seperti lampu. Yang alif sampai hilir hidupmu begitu bersinar. Ya, engkau menerangi kami untuk terus semangat dan kritis demi terang peradaban rempah ini. Bang Faisal, selamat jalan. Kunyanyikan petik lagu berjudul “Kepada Noor” karya Panji Sakti (2024). “…Rindu adalah perjalanan mengurai waktu/Menjelma pertemuan demi pertemuan/Catatannya tertulis di langit malam/Di telaga dan di ujung daun itu.”
Penulis : Yudhie Haryono CEO Nusantara Centre