Bolmut, Sulutnews.com – Pemilihan Umum atau biasa kita kenal dengan istilah PEMILU adalah proses formal dalam pengambilan atau pemungutan suara untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat. Selasa (24/09/2024).
Pemungutan suara diambil secara langsung serta transparan agar tidak terjadi kecurangan. Sesuai dengan asas pemilu yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil).
Kita pasti pernah bertanya-tanya, “Mengapa pemilihan umum diadakan?”, “Mengapa tidak langsung dipilih oleh pemerintah saja?”. Pemilu diadakan supaya kita tahu siapa yang akan kita pilih, bagaimana kinerja selama masa jabatannya, hal-hal apa saja yang akan mereka lakukan untuk membangun negeri ini. Dan juga jika pemerintah saja yang memilih maka akan menimbulkan ketidak percayaan rakyat.
Diera saat ini membangun kepercayaan antara calon kandidat serta rakyat khususnya generasi muda harus dilakukan .
Generasi muda sebagai penerus bangsa harus aktif dalam kegiatan pemilu sebagai salah satu praktek penerapan sistem demokrasi dan politik. Karena kalau bukan kita siapa lagi yang akan meneruskan cita-cita bangsa ini.
Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan jumlah pemilih dalam Pemilu 2024 didominasi oleh kalangan milenial dan Gen Z. Masing-masing 66,8 juta (pemilih milenial) dan 57,5 juta (pemilih Gen Z).
Andes Lukman, Analis Senior di Integrated Media and Communication Services (IMCS) Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA, penting bagi para pelaku komunikasi politik untuk membuat strategi yang mampu mengambil hati para pemilih dari kalangan milenial dan Gen Z.
Salah satu cara untuk memenangkan pemilih dari kalangan tersebut, menurutnya, adalah dengan tidak lagi melakukan pendekatan komunikasi cara lama yang bersifat satu arah dan seremonial. Pendekatan yang berdasarkan hasil monitoring, masih sering dijumpai di lapangan.
Pria yang sebelumnya menjabat sebagai editor Kompas Gramedia Group itu pun merangkum tiga prinsip yang mesti diperhatikan ketika membuat strategi komunikasi, terutama untuk mengambil hati para pemilih dari kalangan generasi milenial dan Z. Antara lain, konten, konteks, komentar (3K).
“Ketiganya adalah bagian penting dalam menghasilkan informasi yang berkualitas,” katanya.
Ia juga menyarankan agar membuat kampanye yang singkat. Fokus informasi juga harus terarah pada tiga poin yang mudah diingat.
Misalnya :
“1. Buka 2. Lihat 3. Coblos”
“1. Ambil 2. Buka 3. Lihat 4. Coblos”
Dengan demikian pesan menjadi lebih fokus, kuat, mudah diingat masyarakat, dan disampaikan kepada target audiens.
Seni Memikat Hati Rakyat
Ketika masyarakat melihat aneka wajah terpampang di baliho-baliho di pinggir jalan kira-kira apa yang berkecamuk di benak mereka? Wajah-wajah itu, sebagaimana kita tahu, tampak diganteng-gantengkan, dicantik-cantikkan, dan disopan-sopankan.
Mereka adalah para calon wakil rakyat, calon bupati atau calon wali kota, calon gubernur, bahkan calon presiden. Pemandangan yang jamak terjadi dalam siklus lima tahunan.
Kita tahu pula tindakan itu tak lebih dan tak kurang sebagai pemasaran politik. Bahasa gampangannya, mereka jualan dan berharap (termasuk harap-harap cemas) banyak yang mau membeli.
Adakah yang salah dengan pamer wajah itu? Tidak ada yang salah! Jika benar apa yang dikatakan Otto von Bismarck: politics is the art of the possible, cara berdagang seperti itu termasuk seni juga.
Tulisan Andina Elok Puri Maharani di Soloposedisi 10-11 Juni 2023 bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi siapa pun yang ingin memikat hati rakyat di ranah politik.
Bahwa media sosial telah menjadi ”kekuatan politik” di banyak belahan bumi. Media sosial bisa menjadi wahana yang efektif bagi individu politikus atau partai politik memperkenalkan diri dan kegiatan yang dilakukan kepada masyarakat.
Itu baru media komunikasi politik yang ditilik dari sudut pandang culture context ala Edward T. Hall (1976) jelas memiliki jangkauan yang berbeda, antara high context culture dan low context culture.
Bagi masyarakat yang tataran melek politiknya sudah tinggi, high context bisa dilakukan. Minus kata-kata, pesan-pesan bisa disampaikan secara tersirat, tidak langsung, semua peristiwa yang terjadi bisa menjelaskan dengan sendirinya.
Dalam masyarakat yang masih low context, diperlukan penyampaian pesan-pesan secara langsung, dengan bahasa komunikasi yang mengena.
Di sini berlaku rumusan Harold D. Lasswell mengenai formula komunikasi, yakni siapa berkata apa (who says what), kepada siapa (to whom), melalui saluran apa (with what channel), dan bagaimana efeknya (with what effect) menjadi taruhan yang tidak bisa dianggap enteng.
Terlebih dalam masyarakat yang sangat mudheng politik, Lasswell menyebut pola transaksional yang tegas bin lugas: seseorang mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana (Politics: Who Gets What, When, How, 1972).
Demokrasi memang banyak disetujui sebagai sistem politik terbaik di dunia (lihat: Russel L. Hanson, 1989), tetapi menurut Laurence J. Peter, demokrasi tetaplah suatu utopia.
“Sebuah gagasan ideal yang tak bisa seutuhnya bakal terwujud selama kaki kita masih menginjak bumi.” ujarnya.
Secara berseloroh Peter mengatakan demokrasi merupakan suatu proses yang mana rakyat merdeka untuk memilih seseorang yang kelak dijadikan kambing hitam.
Dalam kontestasi politik perlu seni bertarung (attack campaign), seni membanding-bandingkan (direct comparison), tanpa meninggalkan etika.
Sudah saatnya will do anything necessary to win (akan melakukan apa pun yang diperlukan untuk menang) ditinggalkan.
Mencari kemenangan dengan menghalalkan segala cara bukanlah perilaku elok bagi bangsa yang beradab.
Sudah waktunya nasihat Lester C. Thurow (1980) dalam buku The Zero Sum Society dipraktikkan.
“Bahwa di dunia ini memang tak semua orang bisa menjadi pemenang. Sebagian memang harus menerima kekalahan dengan kerelaan dan kebesaran hati.”****