Bolmut, Sulutnews.com – Penegakan hukum atau ‘law enforcement’ merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide hukum menjadi kenyataan. Selasa (12/11/2024).
Mewujudkan ide yang dimaksud adalah keadilan sebagai salah satu tujuan hukum menjadi inti dari penegakan hukum.
Penegakan hukum bukan hanya soal menerapkan undang-undang terhadap peraturan hukum konkrit, melainkan juga mewujudkan harapan-harapan yang dikehendaki oleh hukum yang diperkarsai oleh manusia sebagai suatu karakteristiknya.
Penegakan hukum secara mikro meliputi proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan hingga pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Dalam praktiknya, rangkaian proses penegakan hukum tersebut tidak sedikit ditemukan masalah-masalah, misalnya saja soal apakah seseorang yang mangkir dari panggilan klarifikasi kepolisian memiliki implikasi hukum ataukah tidak ?
Pasalnya, tak jarang ditemui acapkali panggilan klarifikasi oleh kepolisian ini sering kali diabaikan sehingga berakibat pada berlarut-larutnya proses penanganan perkara.
“Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum pidana formil yang digunakan sebagai pedoman dalam proses penegakan hukum sejatinya tidak mengenal adanya undangan atau pemanggilan klarifikasi melainkan pemanggilan terhadap tersangka, saksi ataupun ahli.”
Kedua bentuk pemanggilan ini memiliki perbedaan secara diameteral.
Perbedaan pertama adalah dapat dilihat dari ciri surat yang dikeluarkan, yang kedua adalah dari proses lahirnya dan yang ketiga adalah dari implikasinya.
Peraturan turunan sebagai tindak lanjut dari KUHAP yang dikeluarkan berdasarkan diskresi Kapolri cukup banyak. Untuk yang berkaitan dengan penyidikan tindak pidana saja kurang lebih terdapat 3 Peraturan Kapolri (Perkap) yang pernah dikeluarkan, yakni:
1. Perkap No. 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungkan Kepolisian RI.
2. Perkap No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, dan
3. Perkap No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. Menariknya, pada ketiga Perkap tersebut sebenarnya juga “tidak mengenal adanya undangan atau panggilan klarifikasi”. Peraturan Kepala Kepolisian (Perkap) ini merupakan penyempurnaan dan penyesuaian dengan pekembangan hukum, termasuk aturan yang berhubungan dengan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 130/PUU-XIII/2015, sekaligus sebagai pengganti Perkap 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yang telah dicabut berdasarkan Peraturan Polri (perpol) Nomor 06 tahun 2019 tentang Pencabutan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Lingkup Penyelidikan merupakan tindakan permulaan dari penyidikan. Akan tetapi keduanya tidak terpisahkan. Penyelidikan merupakan suatu proses dimana kepolisian berada dalam tahap mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diterimanya sebagai suatu perbuatan pidana ataukah bukan.
Maksud dan tujuan dari tindakan penyelidikan adalah menemukan bukti yang cukup, yang mana dengan bukti yang cukup itu menjadi prasyarat menuju tahap penyidikan.
Dalam tingkat penyelidikan, bukti yang cukup dapat saja berupa laporan polisi, keterangan, barang bukti bahkan juga termasuk informasi intelijen.
Penyelidik dalam melakukan proses penyelidikan, salah satu kewenangan yang diberikan padanya adalah mencari keterangan dan barang bukti (Pasal 5 ayat (1) angka 2 KUHAP).
Mencari keterangan inilah yang dijadikan dasar adanya pemanggilan klarifikasi. Sehingga pemanggilan klarifikasi sejatinya hanyalah persoalan teknis pelaksanaan.
Akan tetapi yang menjadi pertanyaan lebih lanjut adalah apakah saat permintaan keterangan (pemanggilan klarifikasi) punya implikasi jika seseorang mangkir?
Untuk menjawab pertanyaan ini, sejatinya dapat dijawab berdasarkan Perkap No. 12 Tahun 2009 sebagai salah satu peraturan turunan dari KUHAP.
Pada Perkap a quo sangat jelas menegaskan bahwa dalam hal pemanggilan guna menghimpun keterangan dalam penyelidikan, tidak dapat dilakukan dengan tindakan apapun termasuk dengan upaya paksa (Pasal 21 ayat (2) huruf e).
Apa yang dimaksud dengan upaya paksa? Upaya paksa adalah segala bentuk tindakan yang dapat dipaksakan oleh aparat penegak hukum terhadap kebebasan bergerak seseorang.
Di dalam KUHAP, upaya paksa hanya dapat dilakukan pada tingkat penyidikan yang diwujudkan dalam bentuk pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa seseorang yang mangkir dari panggilan klarifikasi pada tingkat penyelidikan sejatinya tidak memiliki implikasi apapun bila berdasarkan Perkap No. 12 Tahun 2009.
Untuk itu dalam praktik tak jarang ditemui panggilan klarifikasi sering dianggap remeh atau diabaikan.
Implikasi yang berbeda terhadap
pemanggilan klarifikasi dan pemanggilan sebagai tersangka, saksi atau ahli memiliki perbedaan secara diameteral.
Perbedaan tersebut dapat dilihat dari 3 hal, yakni:
Pertama, dilihat dari ciri suratnya. Untuk panggilan klarifikasi biasanya tidak terdapat frasa “Pro Justitia” pada bagian surat, sedangkan terhadap panggilan saksi khususnya terdapat frasa tersebut.
Kedua, pemanggilan klarifikasi ada pada tahap penyelidikan berdasarkan kewenangan penyelidik untuk mencari keterangan sedangkan terhadap pemanggilan saksi dan tersangka berada pada tahap penyidikan (hal ini termasuk dalam kewenangan penyidik di dalam Pasal 7 ayat (1) huruf g KUHAP).
Ketiga, implikasi yang dapat ditimbulkan keduanya itu berbeda. Mangkir dari pemanggilan klarifikasi tidak memiliki implikasi apapun bila merujuk pada Perkap No. 12 Tahun 2009.
Hal ini jelas berbeda terhadap mangkir dari pemanggilan sebagai saksi yang memiliki implikasi. Implikasi yang dimaksud adalah: Pertama, dapat dilakukan pemanggilan secara paksa jika setelah dilakukan pemanggilan sekali dan pada kedua kalinya tidak menghadiri tanpa alasan yang jelas dapat dilakukan penjemputan secara paksa (Pasal 112 ayat (2) KUHAP).
Kedua, mangkir dari panggilan sebagai saksi dapat dikualifikasikan sebagai suatu perbuatan pidana berdasarkan Pasal 224 KUHP dengan ancaman pidana paling lama 9 bulan penjara. Bahkan dalam tindak pidana korupsi dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan “obstraction of justice” atau tindakan menghalang-halangi penegakan hukum yang mana ancaman pidananya dapat berupa penjara paling singkat 3 tahun dan maksimal 12 tahun.
Kelebihan dan kekurangan
pemanggilan klarifikasi ini sejatinya memiliki kelebihan dan juga kekurangan.
Kelebihan yang dimaksud setidaknya dapat dilihat dari 2 hal menurut penulis, yakni:
Pertama, dilakukan sebagai bentuk perwujudan dari sikap kehati-hatian ataupun menjauhkan dari sikap ketergesa-gesaan.
Hal ini menjadi sangat penting karena implikasi yang dapat timbul setelah melalui proses penyelidikan adalah penyidikan yang mana pada proses itu terdapat “upaya paksa” yang dapat membatasi kebebasan seseorang.
Kedua, berkaitan dengan cost and benefit. Menilai ulang suatu laporan ataupun aduan yang diterima menjadi penting dalam hal pembiayaan suatu perkara. Jika suatu perkara yang diterima oleh kepolisian dinilai dapat diselesaikan tanpa melalui proses hukum, maka dampaknya adalah penghematan dari sisi biaya perkara.
Untuk itu dalam praktik, terlapor seringkali dilayangkan panggilan klarifikasi. Tujuan dan maksud dibalik ini selain mencari keterangan, kepolisian membuka peluang untuk mendamaikan pihak pelapor dan terlapor. Misalnya juga dalam perbuatan pidana yang termasuk dalam delik aduan (klacht delic) maka pada posisi ini hukum pidana digunakan sebagai “ultimum remidium” sebagai sarana yang terakhir.
Sedangkan dari sisi kekurangannya adalah tidak adanya implikasi apapun yang timbul jika mangkir dari pemanggilan klarifikasi.
Apalagi jika panggilan itu menjadi kunci pemenuhan bukti yang cukup. Hal ini tentu berakibat pada berlarut-larutnya proses penegakan hukum.
Pada posisi ini pelapor sebagai pihak yang dirugikan dari suatu perbuatan pidana tidak mendapatkan kejelasan dan keadilan dari tindakan yang dialaminya.
Untuk itu disarankan, salah satu tindakan di dalam penyelidikan adalah “memanggil atau mengundang seseorang secara lisan atau tertulis tanpa paksaan ataupun ancaman paksaan guna menghimpun keterangan sebagaimana Perkap No. 12 Tahun 2009.
Namun demikian, kewenangan ini sejatinya tidak lagi ditemukan jika merujuk pada Perkap lain yang pernah dikeluarkan berkaitan dengan penyidikan tindak pidana.
Seperti Perkap No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana dan Perkap No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.
Untuk itu, kewenangan untuk memanggil atau mengundang seseorang secara lisan atau tertulis tanpa paksaan ataupun ancaman paksaan guna menghimpun keterangan yang diwujudkan dalam panggilan klarifikasi masih dimiliki oleh penyelidik dalam proses penyelidikan.
Hal ini berdasarkan prinsip hukum yang berbunyi “presumtio iustae causa atau vermoeden van rechmatigeheid”yang artinya kebijakan tata usaha negara selalu dianggap sah, selama tidak terdapat keputusan baru yang membatalkan atau mencabut yang lama.
Untuk menjamin terselenggaranya penegakan hukum yang berkeadilan, yang pro terhadap korban tindak pidana, penulis berpendapat sejatinya terhadap pengabaian panggilan klarifikasi dapat dilakukan panggilan secara paksa.
Argumentasi penulis sebagai berikut:
Pertama, melihat dari kewenangan penyelidik. Berdasarkan KUHAP, kewenangan yang inheren diberikan kepada penyelidik tidak saja mencari keterangan dan barang bukti, tetapi juga terdapat kewenangan tambahan yang diberikan atas perintah penyidik.
Salah satu kewenangan yang diberikan adalah “membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik”.
Berkaitan dengan hal ini, KUHAP memang tidak memberikan penjelasan apakah tindakan yang dimaksud ini sudah masuk dalam rana penyidikan sehingga penyidik memerintahkan penyelidik untuk membawa dan menghadapkan seseorang padanya?
Ataukah kewenangan tersebut dapat pula diinisiai oleh penyelidik dengan cara meminta pada penyidik untuk mengeluarkan surat perintah membawa dan menghadapkan seseorang untuk memenuhi pemanggilan keterangan dalam tindak penyelidikan dalam hal ini panggilan klarifikasi?
Penulis condong pada yang kedua, sehingga hal itu sebenarnya bisa saja dilakukan.
Kedua, apakah hal itu bertentangan dengan Perkap No. 12 Tahun 2009 yang menegaskan tidak adanya upaya paksa pada penghimpunan keterangan ditingkat penyelidikan?
Penulis berpendapat tidak demikan. Alasannya adalah karena kewenangan tambahan sebagaimana disebutkan di dalam poin pertama tersebut di tegaskan secara expressive verbis oleh KUHAP yakni Pasal 5 huruf b angka 4 KUHAP, sedangkan Perkap adalah bagian dari “freies ermessen” atau suatu diskresi yang dikeluarkan oleh Kapolri yang mana konsep dasar untuk dapat dilakukannya suatu diskresi adalah ketika terjadi kondisi dimana undang-undang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas.
Sedangkan KUHAP sebagai suatu pedoman dalam proses penegakan hukum memberikan kewenangan itu secara eksplisit.
Untuk itu, seharusnya Perkap tidak dijadikan acuan dalam hal menghimpun keterangan pada tingkat penyelidikan.
Ketiga, atau untuk lebih menjamin kepastian hukumnya, maka Perkap No. 12 Tahun 2009 soal kewenangan yang meniadakan upaya paksa pada penyelidikan dicabut atau perlu dibuat aturan khusus di dalam Perkap yang juga memuat soal implikasi yang dapat ditimbulkan jika tidak menghadiri panggilan klarifikasi oleh kepolisian.
Mangkir dari panggilan klarifikasi mestinya perlu mendapat ketegasan. Menimbang bahwa hal itu turut memberikan dampak pada proses penegakan hukum yang berlarut-larut.
Apalagi jika keterangan yang ingin didapatkan itu menjadi kunci untuk memenuhi bukti yang cukup untuk menaikkan ke tahap penyidikan.
Selama tidak terdapatnya implikasi dari panggilan klarifikasi, maka selama itu pula pihak-pihak yang berposisi sebagai terlapor dapat selalu menganggap remeh kedudukan panggilan klarifikasi.
Diterbitkannya beberapa peraturan keadilan restoratif, yaitu Peraturan Kepolisian No 8/2021, Peraturan Kejaksaan No 15/2020, dan Perma No 1/2024, merupakan beberapa indikasi keterlambatan pembaruan UU No 8/1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) dalam menjawab kebutuhan peradilan pidana.
Sebagai hukum prosedural, KUHAP mengatur bagaimana menegakkan hukum pidana materiil secara limitatif dan imperatif.
Limitatif berarti pengaturannya bersifat terbatas dan tak boleh disimpangi.
“Imperatif berarti memaksa, sehingga memungkinkan dilakukannya pelanggaran HAM, lewat upaya paksa dalam batas-batas yang ditentukan UU.
Kehadiran UU No 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku efektif 2 Januari 2026 tentu sangat membutuhkan dukungan pembaruan KUHAP, yang dulu dianggap sebagai masterpiece, kini sudah terlalu usang (obsolete). Tanpa adanya pembaruan KUHAP, penerapan KUHP baru dipastikan tak akan maksimal.
Beberapa ketentuan KUHP baru yang mustahil diterapkan tanpa dukungan pembaruan KUHAP misalnya mengenai pertanggungjawaban korporasi sebagai subyek tindak pidana yang dapat dimintakan terhadap korporasi, pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, dan/atau pemilik manfaat korporasi.
Selain itu, bagaimana implementasi putusan pengampunan oleh hakim (judicial pardon), yang bisa dijatuhkan pada terdakwa, tanpa disertai pengenaan sanksi pidana atau tindakan mengingat KUHAP hanya mengenal 1) Putusan bebas (vrijspraak), 2) Putusan lepas (ontslag), dan 3) Putusan pemidanaan.
RUU KUHAP merupakan hukum pidana formal yang mengatur mengenai cara melaksanakan hukum pidana materil yakni KUHP Nasional. Sebagaimana diketahui KUHP Nasional mulai berlaku 3 tahun setelah diundangkan yakni 21 Januari 2026.
Beberapa catatan kami pasca diundangkannya KUHP Nasional melalui UU No. 1 Tahun 2023 yaitu yang pertama adalah terkait berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang mengakui adanya legalitas materiil. Jadi selama ini, di dalam KUHP lama, kita mengenal legalitas formil ialah legalitas yang berdasarkan UU, tetapi di dalam KUHP baru, kita mengenal legalitas yang didasarkan pada hukum yang hidup dalam masyarakat.
Padahal, esensi dari penegakan hukum adalah mengkonkritnya ide hukum, termasuk soal pemenuhan keadilan.***
Penulis : Gandhi Goma, SH. Ketua Bidang Hukum PWI Sulawesi Utara.