Tomohon,Sulutnews.com – Pemerintah Kota Tomohon melalui Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan (Prokopim) Sekretariat Daerah (Setdakot) kembali menggelar Konferensi Pers bersama Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Tomohon, (28/5/2024) di Ruang Rapat Setdakot Tomohon.
Sebagai narasumber Kepala Dinas DP3A Kota Tomohon dr Olga Karinda M.Kes, mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2023 silam tercatat 25 kasus yang sudah ditangani.
Dari 25 kasus itu, kata Kepala DP3AD Kota Tomohon dr Olga Karinda M.Kes, didominasi oleh tindak kekerasan, terhadap perempuan dan anak, pelecehan seksual terhadap anak dan bullying.
“Dalam penanganan kasus yang difasilitasinya ada korban yang melapor ke pihak kami,” tutur Karinda didampingi Kabid, Anita J Lolowang dan Kabid, Vinny.
“Ada juga dari pihak kepolisian yang langsung menghubungi kami, ketika terjadi kasus yang melibatkan perempuan dan anak. Untuk kasus anak yang terlibat kasus kriminal, kami tetap melakukan pendampingan selama ditangani pihak kepolisian, bahkan sampai ke tahap putusan di pengadilan,” katanya.
“Sementara untuk tahun 2024 sampai bulan Mei ini sudah ada 10 kasus yang kami berikan pendampingan terhadap kekerasan perempuan dan anak”, ucapnya.
Jika ada anak yang terlibat kasus dengan keluarga, dan keluarga anak terkait tak lagi ingin berurusan dengannya, DP3A sudah menyediakan Rumah Cinta Sesama yang sudah diresmikan oleh Walikota Tomohon, Caroll JA Senduk SH, sebagai tempat penampungan buat penanganan masalah seperti ini.
“Dan sebagai terobosan tahun 2024 ini Pemkot Tomohon telah mencanangkan Kelurahan Ramah Perempuan dan Peduli Anak”, ungkapnya.
Dalam sesi tanya jawab terungkap Dinas DP3A sangat hati-hati terhadap permintaan data korban dan pelaku tindak pidana.
Menjawab pertanyaan wartawan tentang anak yang menjadi korban tindak pidana, pada dasarnya Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatur setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Ketentuan tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 19 UU 11 Tahun 2012 Tentang SPPA, bahwa identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik. Identitas yang dimaksud meliputi nama anak, nama anak korban, nama anak saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak, anak korban, dan/atau anak saksi.
Setiap orang yang melanggar kewajiban tersebut diancam pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp500juta rupiah.
Sehingga, secara hukum, setiap orang memang dilarang untuk membocorkan rahasia identitas anak korban, termasuk orang tua anak korban, di media cetak dan elektronik. Jika dilanggar, maka yang bersangkutan dapat dipidana. Jadi kami sangat hati-hati”, katanya.(Merson)