Tahuna, Sulutnews.com – Setiap suku di dunia pasti memiliki makanan khas. Humbia atau Sagu contohnya adalah salah satu makanan khas suku Sangihe atau Sangir. Suku yang mendiami wilayah perbatasan Indonesia-Filipina, terletak di Utara Indonesia, Provinsi Sulawesi Utara.
Suku Sangihe sendiri, mendiami wilayah Nusa Utara, mayoritas tinggal di pulau Sangihe, dan pulau kecil yang masuk dalam wilayah otonomi Daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe.
Kegemaran masyarakat Sangihe mengkonsumsi sagu sudah menjadi ciri khasnya. Sagu yang di konsumsi terdiri dari dua jenis yakni sagu dari pohon sagu yang di sebut juga sagu biasa dan sagu dari pohon baruk. Pohon baruk sendiri merupakan tumbuhan endemik pulau Sangihe dan sekitarnya.
Sagu baruk dalam bahasa Sangihe “baru” sedangkan sagu dalam bahasa Sangihe adalah”humbia’. Di wilayah Kecamatan kepulauan Tatoareng dan Kecamatan Kepulauan Marore, pati dari ubi atau singkong dengan cara di haluskan lalu di peras di keluarkan airnya dan terakhir di keringkan menghasilkan tepung agak kasar, itu juga dinamakan sagu atau humbia oleh masyarakat disana.
Jadi humbia dari pohon sagu dan baru di proses untuk mengambil patinya itu dalam bahasa lokal yakni “Manakule” hasil dari manakule itu adalah humbia Sakule, sedang pati dari ubi dinamakan humbia kasebi.
Tradisi membuat sagu ini juga menjadi bagian dari wilayah Nusa Utara, yang terdiri dari Kabupaten Kepulauan Sitaro dan Talaud.
Humbia merupakan makanan tradisional yang melegenda di suku Sangihe, dengan berbagai panganan khas atau olahan yang tentunya menggugah selera. Seperti humbia dange, dengan cara sagu di hamparkan di atas wajan dengan takaran secukupnya, lalu di tekan-tekan menggunakan tangan agar agak padat untuk membuat humbia ini cepat matang. Selanjutnya humbia di balik, jika sudah matang humbia di lipat seperti telur dadar.
Humbia dange ini dalam pengolahannya bisa dicampur dengan parutan kelapa mengkal, bisa juga di tambahkan gula merah agar rasanya semakin gurih, panganan ini diberi nama humbia gula mahamu atau merah. Selain humbia dange, juga ada humbia porno, namun ini bukan soal filem biru, melainkan jenis olahan humbia.
Humbia porno atau juga di sebut pineda di masak dengan menggunakan cetakan yang terbuat dari tanah liat, dengan ukuran lubang berbetuk oval lebar sekitar 2 centimeter dan dalam cetakan 2 sampai 4 centimeter, sedangkan panjangnya bisa bervariasi antara 5 sampai 10 centimeter. Dalam satu wadah cetakan itu, terdapat beberapa lubang.
Cara memasaknya, cetakan dari tanah liat tersebut di panaskan menggunakan api dari kayu bakar, bisa juga dipanaskan di konfor, dengan posisi lubang cetakan menghadap ke api, setelah cetakan terlihat kemerahan, barulah humbia di masukan kedalam cetakan. Setelah itu permukaan cetakan di tutup dengan daun pisang lalu di tutup kembali dengan kayu pipih ukurannya lebih besar dari cetakan tanah liat.
Sekitar 5 sampai 10 menit, penutup cetakan di angkat bersama daun pisang, selanjutnya humbia yang sudah matang di keluarkan menggunakan bilah bambu yang di bentuk sesuai ukuran untuk mengeluarkan humbia dari cetakkanya, bisa juga menggunakan garpu.
Humbia pineda ini bisa juga di campur dengan gula merah dan parutan kelapa mengkal untuk menambah citra rasa gurihnya. Sajian ini biasa dimakan dengan masakan ikan bakar, atau ikan kuah, bisa juga di celupkan kedalam kopi panas dengan takaran gula secukupnya.
Masyarakat Sangihe juga mengkreasikan makanan berbahan dasar sagu dengan berbagai olahan seperti, ongol-ongol. Ongol-ongol ini menjadi kue basah tradisional dengan bahan sederhana, antara lain, sagu baruk atau sagu biasa, gula merah, santan kelapa, parutan kelapa mengkal, daun pandan, kayu manis dan kenari.
Cara pengolahannya cukup gampang. Masak gula merah dengan santan kelapa secukupnya, sampai gula merah mencair, masukan daun pandan dan kayu manis, aduk sampai mendidih, setelah itu sagu di cairkan dengan air lalu di masukan kedalam wadah yang ada gula merah tadi. Aduk merata sampai membentuk adonan, taburi kenari yang sudah di potong kecil-kecil. Bila adonannya dianggap pas, tidak terlalu lembek atau kenyal, angkat dari tungku atau konfor.
Kemudian, dengan menggunakan sendok makan ambil adonan dengan ukuran sesuai selera, lalu di masukan ke wadah parutan kelapa mengkal, adonan kemudian di lumuri parutan kelapa, setelah itu taruh di piring dan siap di sajikan.
Tak hanya kue basah ongol-ongol, ada juga makanan unik berbahan sagu yaitu kulame. kulame bahanya antara lain, gula merah dimasak dengan santan kelapa, sagu yang di encerkan dan kelapa muda beserta airnya, kelapa muda ini dagingnya diambil dengan cara mencongkel daging kelapa menggunakan sendok.
Cara masaknya juga sederhana, pertama gula merah dicairkan dengan santan kelapa dimasak hingga mendidih, setelah itu campur sagu yang sudah dicairkan dan kelapa muda di masukan, aduk sampai semua bahan tercampur merata, setelah dirasa cukup, angkat kulame dari tungku dan Kulame pun siap disajikan.
Biasanya masyarakat Sangihe memakan kulame di sore hari seusai bekerja, wadah makannya pun menggunakan batok kelapa muda agar lebih nikmat rasanya.
Tak hanya itu saja, kreasi makanan berbahan dasar sagu atau humbia juga di olah menjadi kue kering dengan nama kue, Bagea, gulung sagu dan bangket. Biasanya kue ini di buat saat menjelang Natal dan tahun baru, sebagai kue khas suku Sangihe.
Sagu, telah memberikan banyak manfaat bagi kehidupan masyarakat Sangihe, saat daerah lain mengalami krisis pangan, Sangihe tetap tidak kekurangan pangan, dikarenakan masyarakat masih menjadikan sagu sebagai makanan utama, selain beras atau umbi-umbian.
Bahkan Penjabat Bupati Kepulauan Sangihe Rinny Silangen Tamuntuan, tak hentinya mengkampanyekan agar masyarakat Sangihe tidak bergantung beras sebagai makanan utama melainkan menjadikan sagu sebagai makanan pokok. Tak hanya itu, Bupati perempuan pertama memimpin Sangihe itu juga gemar mengkonsumsi sagu.
“Jangan kita bergantung pada beras, kita masyarakat Sangihe memiliki makanan lokal yakni sagu, harus kita jadikan sebagai makanan pokok, apalagi saat kita mengahadapi krisis pangan akibat kemarau panjang yang menimpa wilayah-wilayah penghasil beras, mengakibatkan melonjaknya harga beras yang berdampak sampai ke wilayah Sangihe” kata Bupati.
Jika berkunjung ke pasar-pasar tradisional di Sangihe, kita akan dengan mudah menemukan sagu yang di jual, di kemas dalam bika lalu di bungkus dengan karung. Harganya pun relatif terjangkau.
Sagu Sangihe pun menjadi oleh-oleh yang di bawah keluar daerah, biasanya pejabat dari Provinsi atau masyarakat luar daerah saat berkunjung ke Sangihe, mereka pulang membawa sagu untuk di olah menjadi humbia gula merah dan ongol-ongol.
Memang humbia gula merah dan ongol-ongol menjadi makanan favorit yang turut menambah koleksi panganan asal Sulawesi Utara. Bahkan pada saat ulang tahun Gubernur Sulut, Olly Dondokambey ke 61 tahun 2022 lalu, orang nomor satu di Sulut itu mendatangkan koki khusus dari Sangihe ke Manado untuk menyiapkan hidangan humbia gula merah dan ongol-ongol, karena Gubernur ternyata memiliki kegemaran dengan panganan masyarakat Sangihe itu.
Menurut Spesialis Gizi Klinis, dr Ida Gunawan, SpGK, di kutip dari viva.com. “Sagu kaya akan karbohidrat. Kandungan karbohidratnya tinggi sekali. Sebanyak 100 gram sagu mengandung 84 gram karbohidrat. Jadi sagu merupakan sumber energi yang sangat bagus,” ujar dr. Ida.
Sebagai tambahan sekedar informasi, Komponen yang sangat penting dari tepung sagu ialah karbohidrat, kira- kira 84,70% dari bahan keringnya. Sagu mengandung karbohidrat yang lebih tinggi dibanding beras. Beras hanya mengandung karbohidrat sekitar 78,90% dan sagu tidak mengandung gula seperti beras yang banyak mengandung gula.
Kegemaran masyarakat Sangihe mengkonsumsi humbia setidaknya menghindarkan Sangihe dari krisis pangan beras yang harganya kian hari kian naik. Olehnya Sangihe memiliki kekayaan pangan yang dapat di andalkan dalam menghadapi krisis pangan global.
Sagu atau humbia bukan sekedar makanan tradisional, Sangihe kini menjadi makanan yang menghiasi rumah makan tertentu di Sulut dan di gemari banyak orang, mulai dari masyarakat kalangan bawah sampai pejabat terkenal pun menggemarinya. (Andy Gansalangi)