Bitung, Sulutnews.com – Aliansi Masyarakat Nelayan Bersatu(AMNB) Kota Bitung menilai PP Nomor 11 Tahun 2023 serta turunannya Permen No 28 Tahun 2023 adalah ambigu.
Aturan yang menjadi regulasi awal dari UU no 31/2004 yang mengevaluasi UU no 9/85 dianggap tidak bisa mengatur tentang persoalan di lapangan.
Hingga menimbulkan kontroversi, diantaranya zona penangkapan, qouta penangkapan, pelabuhan pangkalan dan acuan harga ikan serta teknis pelaksanaannya.
Dalam Focus Group Discussion(FGD)yang digelar pada Senin(16/10/23) lalu, hadir sejumlah akademisi, praktisi hukum serta para nelayan dan para pelaku usaha perikanan yang tergabung dalam ANMB Kota Bitung membahas persoalan ini.
Dr Flora Kalalo, hadir pada saat FGD itu, sebagai seorang akademisi dirinya menilai banyaknya regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah justru pertanda buruk bagi sebuah negara.
” Sebagai akademisi, saya ingin mencari tahu siapa yang ada dibalik pemerintah
untuk membuat regulasi-regulasi tersebut?, Memang betul semua regulasi tersebut adalah untuk membantu warga negara Indonesia, tetapi bisa kita lihat nanti sudah ada regulasi yang
dikeluarkan oleh pemerintah mulai dari dirjen, sekjen akan membuat interprestasi dari beberapa peraturan yang dibuat. Kemudian lahir peraturan baru lagi dari peraturan tersebut. Ini sebenarnya yang menjadi kendala bagi kita semua.” Cetusnya.
Sementara, Ketua ANMB Julius Hengkengbala mempertanyakan soal acuan harga ikan yang ditetapkan oleh KKP, bahkan harga acuan tertinggi ada di Kota Bitung.
Dengan demikian maka tidak ada untuk harga mutu, karena perbedaan harga antara ikan fresh, lokal, reject dan gagal di sama ratakan.
” terkait dengan harga ikan, kami pelaku usaha bingung kenapa ada namanya
harga acuan yang dikeluarkan oleh KKP? KKP ini tidak paham kalau di Sulawesi Utara hasil tangkapan ikannya adalah ikan fresh. Tapi KKP dengan semena-mena menentukan harga acuan dengan harga ikan cakalang Rp.15.000, sementara ikan mutu local dan mutu PP dibawah harga Rp.15.000. Harga acuan ini berdasarkan acuan dari mana?” Cetusnya.
Tak hanya itu, ketika dua kapal ikan tengah mengalami musibah dan tenggelam, Julius menilai pihak terkait enggan memberikan empati.
Menanggapi hal itu, PLH Kalabuh PPS Bitung, Reki Pangemanan menguraiakan bahwa Informasi ini bukan hanya di alami oleh para nelayan dan pemilik kapal yang ada di Kota Bitung.
” Ini juga terjadi dengan Nelayan dan Pemilik Usaha yang ada di Tumumpa. Kami sudah mengumpulkan aspirasi dari masyarakat yang ada di Tumumpa, dan kami mendapatkan informasi untuk revisi PP 85 yang menjadi dasar penarikan PHP tersebut di bulan Oktober. Jadi
segala aspirasi dari teman-teman sekalian sudah kami sampaikan dan dalam proses” jelas Reki.
Berbagai persoalan yang dialami oleh para nelayan dan pelaku usaha perikanan saat ini nampaknya tidak pernah usai, hingga berujung pada menurunnya hasil tangkapan dan tentu saja berdampak serius pada laju putaran ekonomi khususnya di Kota Bitung.
Belum lagi dengan PP Nomor 11 Tahun 2023 yang tidak direvisi, dimana saat ini hanya bersifat diskresi sehingga sewaktu waktu dapat diberlakukan kembali.
Untuk itu, Julius menegaskan, tindak lanjut dari FGD ini adalah untuk tidak memberlakukan PP No 11/2023.
” Dan kalaupun tetap akan berlaku hasil catatan dari FGD ini akan kita kawal dengan para akademisi untuk membuat naskah akademik kemudian mengusulkan kepada KKP sesuai dengan kondisi yang ada di Kota Bitung dan Sulawesi Utara.” Cetus Yulius.
(Tzr)