Menu

Mode Gelap
Peringati Hari Pahlawan Tahun 2024 Caroll-Sendy Apresiasi Dua Pahlawan Nasional Asal Tomohon Gubernur Olly Dondokambey : HUT Ke-60 Sulawesi Utara Mengalami Kemajuan Pesat KPU Kabupaten Lebak Gelar Pengundian dan Penetapan Nomor Urut Paslon Bupati dan Wakil Bupati Menparekraf Sandiaga Uno Puji Pemda Sulut Laksanakan Discover North Sulawesi 2024 Saat Ditangkap Kapal MV Lakas Berbendera Filipina Tidak Memiliki Dokumen Lengkap

Bolmut · 21 Jan 2025 23:46 WIB ·

Mengapa MK Menghapus Ambang Batas Presidential Threshold ?


Mengapa MK Menghapus Ambang Batas Presidential Threshold ? Perbesar


Bolmut, Sulunews.com – Dalam pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres) secara langsung di Indonesia dikenal istilah ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. Selasa (21/01/2025).

Menurut Kompaspedia, presidential threshold adalah syarat minimal persentase kepemilikan kursi di DPR atau persentase raihan suara bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden.

Alasan penerapan Aturan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold itu diberlakukan dengan sejumlah tujuan.

Pertama memperkuat sistem presidensial. Dalam sistem presidensial, presiden dan wakil presiden yang telah dipilih secara langsung oleh rakyat akan memiliki kedudukan yang kuat secara politik. Hal itu membuat presiden dan wakil presiden tidak dapat diberhentikan secara mudah karena alasan politik.

Kedua, penerapan presidential threshold adalah demi efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Jika sistem itu tidak diterapkan, bisa saja presiden dan wakil presiden yang terpilih diusung oleh partai atau koalisi partai politik yang jumlah kursinya bukan mayoritas di parlemen.

Jika hal itu terjadi, maka kemungkinan besar presiden dan wakil presiden sebagai lembaga eksekutif bakal kesulitan dalam menjalankan pemerintahan karena bakal diganggu oleh koalisi mayoritas di parlemen. Terakhir, alasan penerapan presidential threshold adalah demi menyederhanakan sistem multipartai melalui seleksi alam.

Jejak presidential threshold Aturan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden mulai diterapkan di Indonesia sejak Pemilu 2004. Saat itu untuk pertama kalinya Indonesia melaksanakan pemilihan presiden (pilpres) secara langsung.

Aturan presidential threshold pencalonan presiden mengalami beberapa perubahan ketentuan.

Pelaksanaan pilpres secara langsung tersebut merupakan hasil Reformasi melalui amandemen ketiga UUD 1945, yakni Pasal 6A ayat 1, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.”

Dalam Pasal 5 Ayat (4) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden disebutkan, pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR. Aturan tentang presidential threshold kembali diubah menjelang Pilpres 2009.

Dalam UU Nomor 42 Tahun 2008 disebutkan, pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif. Aturan ambang batas pencalonan presiden pada Pilpres 2014 tetap sama seperti pada Pilpres 2009. Lantas pada Pilpres 2019, aturan presidential threshold kembali berubah.

Dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan, pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Pada pilpres 2004, 2009, dan 2014, patokan yang digunakan adalah perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada hasil pileg yang dilaksanakan sebelumnya sebagai presidential threshold.

Pada ketiga gelaran pilpres itu, pemilu dilaksanakan beberapa bulan sebelum pilpres.

Sedangkan pada Pilpres 2019, ambang batas yang digunakan adalah perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada pemilu anggota DPR periode sebelumnya.

Hal ini karena pelaksaan pilpres dan pemilu legislatif dilaksanakan serentak pada April 2019.

Dalam Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024, MK memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden atau presidential threshold pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

MK menyatakan presidential threshold tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pada pertimbangan hukumnya, MK memberi lima pedoman bagi pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR, untuk melakukan rekayasa konstitusional agar jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak membludak.

Pedoman pertama, yaitu semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Kedua, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan tersebut tidak menyebabkan dominasi yang menyebabkan terbatasnya pasangan calon serta terbatasnya pilihan pemilih.

Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi berupa larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.

Kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilu, termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR, dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna.

Keputusan bersejarah ini dimulai dari Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6 Jakarta Pusat, tempat para hakim konstitusi alias hakim Mahkamah Konstitusi (MK) berkantor dan bersidang. Kamis 2 Januari 2025.

Permohonon uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, yang mengatur tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau lebih dikenal dengan istilah presidential threshold , dikabulkan.

Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan. Pertama, mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Kedua, Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. “Ketiga, Memerintahkan Pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya,” ucap Suhartoyo saat membacakan putusan perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024.

Pemohon perkara ini bukan politikus. Ada empat orang Pemohon, yang semuanya berstatus mahasiswa. Mereka adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, dan Tsalis Khoirul Fatna, yang merupakan mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara angkatan 2021. Seorang mahasiswa lainnya, Faisal Nasirul Haq, berasal dari Program Studi Ilmu Hukum angkatan 2021.


Dikutip dari laman MK, dalil mengenai uji materiil ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) juga diajukan dalam tiga perkara lainnya, yakni Perkara Nomor 129/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Gugum Ridho Putra. Kemudian, Perkara Nomor 87/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh empat dosen, antara lain Mantan Ketua Bawaslu Muhammad, Dian Fitri Sabrina, S Muchtadin Al Attas, serta Muhammad Saad. Selain itu, Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) yang diwakili Hadar Nafis Gumay serta perorangan Titi Anggraini.

Pasal yang diuji adalah Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal ini telah 33 kali diuji, namun selalu ditolak atau tidak dapat diterima. Adapun bunyi pasal dimaksud adalah “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”. *** GG

Artikel ini telah dibaca 1,274 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Dirgahayu Harla NU Ke 102 Tahun 2025

7 Februari 2025 - 10:35 WIB

Apakah ada bedanya KUHP di Gakkumdu dan KUHP di Polres Bolmong Utara ?

5 Februari 2025 - 02:05 WIB

Rapat Evaluasi Badan ADHOC Pilkada 2024 di Bolangitang Timur

23 Januari 2025 - 22:45 WIB

Kepala Daerah Hasil Pilkada Tanpa Sengketa Dilantik 6 Februari 2025

22 Januari 2025 - 17:09 WIB

Keindahan Destinasi Wisata Pantai Batu Pinagut Boroko Tahun 2025

19 Januari 2025 - 12:45 WIB

MOU Pengelolaan Aset Wisata Batu Pinagut Antara Balai Wilayah Sungai I Dengan Pemkab Bolmong Utara Ditandatangani

17 Januari 2025 - 22:59 WIB

Trending di Bolmut